Minggu, 01 Juni 2008

PROLOG : SEBUAH KEPRIHATINAN



31 MEI…,
HARI TANPA TEMBAKAU SEDUNIA atau HARI BEBAS ASAP ROKOK

Apa ada bedanya tanggal tersebut di Indonesia dibanding dengan hari-hari lain? Sama sekali tak ada bedanya! Alias “gak ngaruh deh!” Cuekin aja! Para perokok tetap bebas merokok sesuka hati, kapan pun dan dimana pun!

Hasil penelitian WHO menyebutkan Indonesia menduduki peringkat teratas negara pengkonsumsi rokok terbesar di dunia. Hebat!




Hebat?! Atau justru “memalukan”?! Untuk sebuah negara yang pendapatan perkapita penduduknya masih tergolong rendah dan prosentase penduduk yang masih berada di bawah garis kemiskinan cukup besar. Ironisnya lagi, fakta bahwa di Indonesia mayoritas pengkonsumsi rokok tersebut adalah penduduk berpendapatan rendah. Survey yang dilakukan sebuah stasiun televisi swasta menunjukkan bahwa banyak penduduk dengan pendapatan di bawah Rp. 20.000,- per hari (tak sampai Rp. 600 ribu sebulan alias dibawah standar minimum untuk hidup layak bagi sebuah keluarga), tetap saja tak mau mengalah untuk tidak membeli rokok setiap hari, meskipun faktanya anak-anak mereka putus sekolah karena ketiadaan biaya, keluarganya setiap hari makan seadanya – masih untung gak tergolong gizi buruk. Betapa sebuah perilaku tak bertanggungjawab! Demi kenikmatan yang ditawarkan asap beracun, lebih baik anak – istri yang jadi korban dari pada gak merokok sehari saja! Yang lebih menyedihkan, ketika diwawancarai reporter TV, mereka dengan senyum bangga dan tawa kemenangan – seolah-olah tak ada yang salah dan perlu disesali – mengatakan hal tersebut!
Ironis memang! Sebab warga miskin dan warga berpenghasilan pas-pasan j ustru menjadi penyumbang dan ikut memperkaya para pemilik modal. Bukankah deretan atas dari daftar orang-orang kaya di Indonesia diduduki oleh para Taipan pengusaha dan pemilik pabrik rokok?!

Apa sih untungnya merokok?!
Kagak ada bagus-bagusnya sama sekali!
Setidaknya, ada beberapa dosa yang kita lakukan kalo kita tetap merokok :





  1. Melakukan kemubadziran dengan “membakar” uang. Bukankah berperilaku mubadzir itu temannya setan?! Coba hitung berapa ribu rupiah yang anda “bakar” dalam sehari, seminggu, sebulan, bahkan setahun. Kalikan sudah berapa tahun anda merokok. Nah, konversikan nominal rupiah itu dengan harga barang yang berguna. Jangan heran kalo jumlahnya bisa menyamai harga sebuah mobil!




  2. Bunuh diri secara perlahan namun sistematis. Kalo sebatang rokok mengandung 40.000 jenis racun kimia, dan anda menghisaprunya minimal 12 batang (rata-rata sebungkus rokok isi 12 batang) sehari, sudah berapa gram racun yang anda suntikkan ke dalam tubuh anda? Bukankah ini juga bentuk dari kufur nikmat?! Tidak mensyukuri nikmat sehat yang dikaruniakan Allah, tidak menjaga kebugaran tubuh yang sudah Allah ciptakan sempurna. Jadi tak perlu kecewa kalo Allah murka kepada anda, wahai para perokok!




  3. Melanggar HAM (Hak Azasi Manusia). Coba pikirkan : dengan merokok, anda meracuni udara sekitar, yang juga dihirup oleh orang-orang yang tidak merokok. Bukankah orang-orang di sekitar anda yang tidak merokok juga berhak atas udara bersih yang tak dicemari racun yang anda tebarkan? Saya pernah membaca sebuah artikel, bahwa perokok pasif (second hand smokers) justru lebih dirugikan, sebab limbah asap yang mereka hirup 3x (ingat : tiga kali lipat) lebih banyak dan lebih berbahaya ketimbang si perokok sendiri. Nah, tidakkah anda merasa berdosa pada sesama?


  4. Merusak karunia ALLAH berupa udara segar yang diberikan secara gratis untuk dihirup sepuasnya. Dengan menghembuskan asap penuh racun kimia ke udara bebas, berarti anda telah menodai karunia itu. Bagaimana kalau Allah murka?! Andaikan saja Allah mengenakan tarif untuk tiap meter kubik udara segar yang kita hirup – lalu tarif itu naik “menyesuaikan” dengan kenaikan harga BBM, atau “dievaluasi” setiap 2 tahun sekali seperti layaknya kenaikan tarif tol – tentu anda harus berpikir 1000x untuk mencemari udara bersih yang anda hirup dengan 40.000 jenis racun kimia. Nah, mulai sekarang cobalah pikirkan bagaimana jika asap beracun itu tidak anda hembuskan ke udara bebas, namun reguklah kembali melalui tenggorokan anda. Bisa membayangkan?!

Yang lebih memprihatinkan, contoh ketidak-pedulian pada himbauan larangan merokok di tempat umum, bukan saja dipertontonkan oleh kaum marginal, tapi juga di”teladani: oleh mereka yang berpendidikan! Salah satu pimpinan lembaga tinggi negara (Wakil Ketua DPR) – mohon maaf anggota dewan yang terhormat – bahkan dengan cueknya menghembuskan asap rokok sembari memimpin sidang parlemen. Padahal jelas-jelas ruangan tersebut ber-AC! Nah lho! Yang seperti begini mau dibilang apa?!

Jangan protes kalo Perda Larangan Merokok di tempat umum yang sempat diterapkan oleh Pemda DKI, jadi mandul. Bagaimana tidak, si pembuat undang-undang justru memberi contoh bagaimana melanggar aturan dengan penuh rasa percaya diri!

Saya pernah berada di Stasiun Gambir, disana tertulis bahwa area tersebut termasuk area larangan merokok sesuai Perda nomor sekian... dst. Anehnya, disitu justru kios penjual rokok! Dimana peran pemberi ijin?! Ketika salah satu calon penumpang kereta api super eksekutif membeli rokok di kios tersebut dan langsung menyulutnya, seorang rekannya coba mengingatkan bahwa disitu area dilarang merokok. Apa jawab si perokok?! Nah, disini ada yang jual kok. Jangan salahin gue kalo beli rokok dan merokok disini. Untung saja temannya yang sadar aturan tadi tak kehilangan akal. Dengan berseloroh ia berkata : “Kalo gue jualan kondom disini, bukan berarti elo boleh make kondomnya disini kan?!” Hahaha!!! Kontan teman-temannya pada ngakak dan si perokok pun urung menyalakan rokoknya.

Memang masyarakat Indonesia bisa dibilang “egois”, mereka cuma tau “yang penting saya enak! Peduli amat orang lain tersiksa karena saya!” Di Jepang, negara dimana mayoritas penduduk pria-nya perokok, aturan dilarang merokok disembarang tempat” sangat dipatuhi. Semua public area pasti dilengkapi dengan “smooking area”. Jangan coba-coba merokok di luar smooking area.

Bahkan di perusahaan-perusahaan pun, kebanyakan memberlakukan aturan “jam merokok”. Artinya, karyawan perokok tidak bisa seenaknya sendiri meninggalkan meja kerja atau tempat kerjanya sepanjang jam kerja, hanya untuk menghisap rokok. Ada jam-jam tertentu yang disediakan untuk merokok dengan durasi 5 – 10 menit. Konsekwensinya, anda harus menahan diri untuk tidak merokok diluar waktu-waktu tersebut. Langkah ini juga cukup efektif untuk mengurangi jumlah konsumsi rokok perhari. Sebab, tiap kali “smooking bell” berbunyi, para perokok berhamburan keluar dan segera mencari smooking area, lalu buru-buru mengisap rokoknya dan cuma cukup untuk menghabiskan sebatang rokok saja! Tidak lebih.
Jadi, hak perokok dan bukan perokok, sama-sama dihargai. Ada mekanisme yang mengatur semua itu. Penegakan disiplin adalah kuncinya, kesadaran masyarakat adalah pendukungnya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Masih jauh panggang dari api! Anehnya, ketika bangsa kita hidup di negara lain, mereka bisa mematuhi aturan. Ketika hidup di Jepang, teman-teman saya bisa tuh gak merokok sembarangan. Tidak hanya itu, warga negara Indonesia yang hidup di sana juga bisa dengan tertib menjaga kebersihan dan rela tidak menyerobot antrian. Nah, ini artinya mentalitas sebuah bangsa bisa dibentuk! Hanya tinggal supra strukturnya ada enggak? Tekad kuat dari Pemerintah untuk menegakkan aturan ada enggak?


Di negeri ini, produsen rokok menemukan “surga”nya! Tak ada biaya kompensasi yang harus mereka bayarkan. Tak ada kewajiban untuk membangun rumah sakit atau panti rehabilitasi bagi korban-korban rokok. Bandingkan dengan sejuta aturan yang diterapkan di negara-negara beradab – saya menyebut negara beradab bukan negara maju, sebab ukurannya bukan maju tidaknya suatu negara, melainkan apakah Pemerintah negara tersebut masih punya kepedulian untuk menyelamatkan peradaban umat manusia dan lingkungannya. Di negara-negara beradab tersebut, sebelum membangun sebuah industri rokok, produsen harus lebih dulu membangun sejumlah fasilitas kesehatan untuk menanggulangi penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh rokok. Belum lagi mereka juga harus bertanggungjawab atas polusi udara yang ditimbulkan asap rokok.

Di negara kita yang super baik hati ini, para produsen rokok dengan digdaya bisa jadi sponsor event-event olah raga, menggelar road show pentas musik bagi anak muda, menyelenggarakan kompetisi membuat film indie, ngadain lomba kreativitas membuat barang-barang yang inovatif. Ada pesan tersembunyi yang hendak disampaikan para produsen rokok : dengan merokok, kreativitas dan daya imajinasi, inovasi, justru lancar!

Remaja-remaja dan kaum pria tiap hari dicekoki iklan-iklan yang membangun citra seolah kejantanan ditentukan oleh sebungkus rokok!


Perilaku masyarakat pun terkadang mengenaskan. Mereka bahkan tak segan-segan merusak anak-anak mereka sendiri dengan memberi contoh yang tak sepantasnya. Aturan bahwa merokok hanya untuk remaja berusia 18 tahun lebih, jadi tak berarti jika mereka tiap hari disuguhi tontonan orang-orang dewasa yang memamerkan perilaku merokok di depan mereka. Bahkan seringkali pula orang tua dengan seenaknya menyuruh anak mereka yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak untuk membeli rokok! Tentu saja penjual rokok tak akan menolak melayani kendati pembelinya masih anak-anak. Sehingga, kalo suatu saat ada seorang anak yang masih di bawah umur membeli rokok untuk dihisapnya sendiri, penjual pun tak perlu bertanya untuk siapa si anak membeli rokok. Pada masyarakat “beradab”, orang tua macam itu tidak ada. Penjualan rokok di toko-toko sangat memperhatikan batasan minimal usia boleh merokok. Bahkan rokok yang dijual bebas di vending machine di pinggir jalan pun – tinggal memasukkan coin, keluarlah sebungkus rokok – tak ada pembeli yang masih di bawah umur.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, saya mencoba menyajikan beberapa artikel seputar bahaya merokok, dampak negatif rokok bagi tubuh dan kehidupan, serta kiat-kiat untuk berhenti merokok! Semoga bermanfaat!


Surabaya, 31 Mei 2008
(Dirgahayu kotaku yang hari ini genap berusia 715 tahun)
Wassalam, Ira

Tidak ada komentar: