Kamis, 31 Juli 2008

NIKMAT ALLAH VS KEPATUHAN KITA

HITUNG-HITUNGAN DENGAN ALLAH

Sebuah acara infotaintment yang ditayangkan salah satu TV swasta mengupas tuntas berita tentang dilarangnya konser si “ratu ngebor” Inul Daratista di Johor Bahru, Malaysia. Dalam tayangan diberitakan betapa shock-nya Inul mendengar pelarangan konsernya oleh Pemerintah daerah setempat secara sepihak, padahal sejak semula panitia sudah mengantongi ijin. Tampak Inul sampai pingsan dan lemas, dipapah oleh Tim Manajemennya, bahkan sesampai di kamar hotelnya Inul sampai berteriak histeris! Menggambarkan betapa rapuhnya mental Inul

Saya sama sekali bukan penggemar atau pendukung Inul, bukan anggota FBI (Fans Berat Inul), bahkan sejak semula Inul ngetop dengan goyang ngebornya 5 – 6 tahun silam, saya termasuk yang risih melihatnya tampil di atas panggung sambil berkali-kali membelakangi penonton untuk mempertontonkan – maaf – pantatnya yang bergoyang-goyang ala gerakan mesin bor, sambil ratusan pasang mata penonton membelalak, na’udzubillah! Apalagi pakaiannya ketat membalut tubuh, mencetak dengan jelas lekuk-liku tubuh moleknya yang sintal. Penonton yang mayoritas kaum Adam, pastilah tergiur dengan kemolekan tubuhnya dan goyangannya yang bisa bikin aliran darah jadi lebih cepat dan jantung berdegup lebih kencang!

Kritikan pedas terhadap goyangan Inul kala itu – terutama yang dimotori raja dangdut Rhoma Irama – kontan menghadapi serangan balik dari para pendukung tontonan sensual. Pro – kontra yang timbul justru makin melambungkan popularitas Inul dan membuatnya makin laku keras.Terjadilah “simbiosis mutualisme” antara Inul dan para pendukung pornografi dan pornoaksi. Ketika DPR sedang disibukkan membahasa RUU APP (Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) beberapa tahun lalu, Inul kerap ikut berdemo bersama para aktivis lainnya, menolak RUU tersebut. Menurut kelompok ini, aksi semacam yang dilakukan Inul sama sekali bukanlah pornoaksi. “Kemenangan” berada di pihak kelompok ini. Terbukti sampai sekarang RUU tersebut tak pernah kelar apalgi resmi disahkan sebagai Undang-Undang.

Dua tahun belakangan kontroversi itu sudah tak lagi mengemuka. Inul sudah bebas berekspresi. Namun kasus pelarangan konsernya di Johor Bahru tiba-tiba menyentakkan jagad hiburan. Kabarnya, Inul shock berat bukan cuma karena konsernya dibatalkan, tapi terlebih dia takut menghadapi opini publik dan pemberitaan pers di negeri sendiri, sampai-sampai ia takut pulang ke Indonesia. Tak tahu harus berkata apa bila pers menyerangnya dengan berbagai pertanyaan seputar pembatalan konsernya.

Dalam kesedihannya itu Inul mengungkapkan suara hatinya kepada wartawan infotainment yang mewawancarainya. Yang paling menggelitik hati saya antara lain pernyataannya bahwa ia kini sudah berhaji, jadi tak akan lagi menyuguhkan goyangan yang tergolong pornoaksi. Berarti, dengan kata lain Inul mengakui bahwa aksi panggungnya sebelum ia pergi haji termasuk kategori “pornoaksi” dong! Nah, kalo selama ini Inul aktif ikutan demo menolak RUU APP dan ngotot bahwa goyangannya bukanlah pornoaksi, berarti itu bentuk kemunafikan dirinya sendiri dong?!

Yang lebih membuat saya mengelus dada, Inul sempat berkata bahwa ia sempat kecewa dan marah pada Tuhan. Kurang lebih ungkapan kalimat Inul seperti ini : “Kupikir Tuhan sudah gak sayang lagi sama aku. Kalo gitu aku gak mau sholat lagi ah!”. Walau kemudian Inul mentertawakan kemarahannya itu, namun ada hal penting yang kiranya perlu digarisbawahi dan kita renungkan bersama.

Semudah itukah kita memvonis Allah tak sayang lagi pada ummatnya? Lalu bagaimana dengan rahmatNYA yang bertebaran di muka bumi yang sejak kita dilahirkan sudah kita reguk sepuasnya? Tidakkah semua itu bukti kasih sayang Allah yang selalu kita lupakan mensyukurinya, karena kebanyakan dari kita berpikir bahwa semua itu “memang sudah seharusnya” demikian. Kalau saja sekali waktu Inul membaca tulisan ini, saya ingin mengajaknya merenungkan dan menghitung nikmat apa saja yang telah Allah berikan padanya serta balasan apa yang sudah Inul persembahkan pada ALLAH. Apakah sudah sepadan nikmat yang diterima Inul dengan ketaatannya pada Allah?!

Sebagai orang Jawa Timur, saya tahu persis bagaimana perjalanan karir Inul merambah dunia hiburan. Dimulai dengan kiprahnya menyanyi di panggung-panggung dangdut dari satu kampung ke kampung di Pasuruan dan sekitarnya yang kerap digelar. Mulai pentas tujuhbelasan (memperingati HUT RI 17 Agustus), panggung sunatan, hajatan pengantin, dan lain-lain, lama kelamaan goyangannya uang khas dan hot membuatnya makin dikenal lewat video-video amatir pertunjukannya di pentas-pentas musik dangdut di kampung. Mulailah Inul menjadi artis penyanyi profesional di beberapa klub disko dangdut di Surabaya. Inilah jalan panjang yang diretas Inul sampai akhirnya membawanya ke jajaran papan atas artis dangdut Ibukota bertarif milyaran. Semua itu memang didapat Inul melalui perjuangannya menciptakan satu ciri khas goyang ngebornya yang saat itu tiada duanya. Berbekal wajah yang cukup lumayan manis, body sexy yang selalu terjaga, goyang ngebor yang hot dan aduhai serta performa panggung yang selalu prima – ya, Inul memang layak diacungi jempol karena mampu membawakan beberapa lagu sekali manggung sambil bergoyang hebat tapi kualitas vokalnya tetap prima – membuat Inul makin diperhitungkan di jagad hiburan. Lalu pernahkah Inul berpikir bahwa semua itu dari mana ia dapatkan? Apakah ia bisa dengan sendirinya mengukir paras manisnya? Apakah Inul menciptakan sendiri jalinan pita suara yang mampu menghasilkan olah vokal yang bagus? Apakah body sexynya ada begitu saja? Tentu saja tidak! Semua itu ada karena kehendak dan karunia Allah!

Kalo Allah berkehendak lain, IA bisa saja menciptakan Inul kecil – yang nama aslinya Ainur Rohimah, sebuah nama yang indah dan pasti mengandung makna dan doa, ketimbang nama artisnya : Inul Daratista yang tak punya arti apapun selain aspek populis – bertampang pas-pasan, berkulit kelam, bertubuh cacat dengan komposisi pinggang dan pinggul yang tak proporsional misalnya, atau kakinya panjang sebelah. Allah juga bisa membuatnya terlahir dengan bibir sumbing yang menghasilkan sura sengau, atau bahkan lebih fatal lagi Allah bisa saja membuat Inul tuna wicara! Tapi tidak! Allah dengan sifat Rahman dan RahimNYA telah menciptakan Inul terlahir sempurna. Allah juga telah membekali Inul dengan talenta yang luar biasa. Allah pula yang telah memberikan kesempatan pada Inul untuk tetap sehat, vitalitas prima dan terjaga, sehingga setiap shownya selalu sukses. Allah jua lah yang telah membayar seluruh upaya Inul dengan kesuksesan seperti apa yang telah ia dapat sekarang. Pendek kata : tak terhitung nikmat Allah yang diberikan buat Inul selama ini!

Nah, sekarang mari kita berhitung berapa banyak yang Inul “bayarkan” pada Allah sebagai wujud rasa syukurnya atas semua nikmat dan karunia itu? Lahir dan dibesarkan di Pasuruan yang dikenal cukup agamis, saya yakin Inul cukup mengerti nilai-nilai Islam yang by nature diajarkan oleh lingkungan di sekitarnya. Umumnya masyarakat di sana – campuran antara etnis Jawa dan Madura – adalah jebolan pesantren, yang dalam dalam tradisinya sangat mengagungkan para Kiai dan Ulama’. Penampilan keseharian masyarakatnya sedikit banyak mencerminkan budaya Islami. Sejak dulu para perempuan disana kebanyakan mengenakan baju panjang dan berkerudung – bahkan ketika jilbab belum populer – serta kaum prianya bersarung. Khas penampilan masyarakat Islam tradisional. Jadi tentunya Inul tahu betul bahwa gaya berpakaiannya kini sudah jauh keluar dari “pakem” gaya berpakaian masyarakat Pasuruan kebanyakan yang nota bene agamis itu. Memang sih warga sekitar kampung Inul kagak ada yang protes soal penampilan Inul – kayaknya sih, so far tak ada yang mengemuka ke media massa – malah bangga warganya jadi penyanyi top!

Tapi yang akan saya bicarakan dalam tulisan ini adalah bagaimana Inul “membayar” segala nikmat yang Allah limpahkan padanya secara cuma-cuma. Allah yang Maha Kaya dan Penguasa alam semesta memang tak membutuhkan bayaran apapun dari kita. Bahkan seandainya seisi bumi ini tak tahu berterimakasih padaNYA, tak akan mengurangi KekayaanNYA. Kalaupun semua manusia ingkar kepadaNYA, tak akan mengecilkan KekuasaanNYA! Tapi, sebagai makhluk beradab, pantaskah kita menunjukkan perilaku tak tahu berterimakasih? Bahkan kepada sesama manusia pun kalo kita bersikap seperti itu niscaya akan dibilang tak tahu diri!
Tugas kita sebagai hamba ALLAH untuk menunjukkan rasa syukur dan terimakasih kita padaNYA cukuplah dengan menunjukkan kepatuhan pada perintahNYA, meninggalkan apa-apa yang dilarangNYA, senantiasa merawat nikmat pemberianNYA dengan sebaik-baiknya, serta mendayagunakan semua nikmat yang diberikanNYA dengan cara-cara yang diridhoiNYA. Lalu bagaimana dengan Inul? Sudahkah iya melakukan 4 hal itu? Allah jelas-jelas memerintahkan kaum wanita untuk menutup auratnya di depan laki-laki bukan muhrim, sudahkah Inul patuh? Allah jelas-jelas melarang wanita meliuk-liukkan tubuh di depan lelaki bukan muhrim, sudahkah Inul meninggalkannya (atau justru menciptakan suatu bentuk liukan tubuh sensual yang khas?). Sudahkah semua nikmat yang diberikan Allah secara cuma-cuma itu digunakan Inul dengan cara-cara yang diridhoi Allah? Inul tentu lebih bisa jujur menjawabnya!

Kalo Inul belum mematuhi perintah Allah, belum meninggalkan larangannya secara total, belum memelihara diri dan mendayagunakan kemolekan tubuhnya untuk mencapai ridho Allah, kemudian Allah murka dan muak melihat tingkahnya yang seolah “mengejek” Allah – bahkan bergabung dengan kelompok yang menentang larangan Allah – maka pantaskah Inul memvonis Allah tak lagi sayang padanya? Bukankah ia yang lebih dulu berpaling dari Allah? Adilkah kalo Inul hanya menyalahkan Allah yang seolah berpaling darinya?

Cukupkah “haji”nya dijadikan tawar-menawar dengan Allah? (Sebab saya juga dengar pernyataan Inul : “Saya kan sudah pergi haji”). Haji hanyalah salah satu saja perintah Allah dari 5 rukun Islam, diwajibkan bagi yang mampu. Kalo menilik ukuran finansial, seharusnya Inul bahkan sudah pergi haji sejak 5 – 6 tahun yang lalu. Karena saat itu ia sebenarnya sudah tergolong mampu. Untung saja Allah masih memberinya kesempatan kendati Inul telah mengulur-ulur waktu untuk menjalankan ibadah yang wajib. Dengan pergi haji seharusnya Inul justru makin paham aturan Islam. Kalo hajinya mabrur, Insya Allah ia akan makin mudah untuk tunduk patuh menjalankan perintah Allah dan kontan meninggalkan sama sekali larangan Allah. Kalo saja hidayah Allah berkenan menghampirinya… Tapi itulah, pergi ke tanah suci tak menjadi jaminan kita mendapat hidayahNYA.

Lalu, layakkah seorang yang sudah haji kemudian menerima cobaan kecil saja sudah menyalahkan Allah, bukannya introspeksi atas kekurangan kita mengabdi pada Allah?! Pantaskah kalo kemudian mengancam tidak akan sholat lagi, seolah Allah mempan diintimidasi?! Seolah Allah yang butuh banget dengan sholat kita. Seolah kalo kita gak sholat maka Allah tak lagi punya “pasukan”. Seolah Allah sangat butuh sesembahan kita. Tidak! ALLAH Maha Agung! IA Kuat! IA tak akan pernah lemah hanya karena segelintir orang tak lagi patuh beribadah padaNYA! KeagunganNYA tak bertambah karena sesembahan kita pun juga tak berkurang karena kita tak lagi menyembahNYA. IA tetaplah Penguasa Arsy yang menggenggam jiwa-jiwa kita.

Kasus Inul di atas hanyalah sekedar sebuah gambaran saja. Kasus serupa bisa saja menimpa siapa saja, dengan jenis musibah dan kadar yang berbeda-beda. Sungguh sangat jarang kita memikirkan nikmat dan karunia Allah yang setiap hari selama berpuluh-puluh tahun kita konsumsi, kita nikmati. Kita sama sekali tak pernah menghitungnya karena beranggapan semua itu toh memang harus demikian adanya. Jangankan mensyukuri, sekedar tidak iri dengan nikmat yang diberikan pada orang lain saja susah! Sudah tak terhitung nikmat yang diberikanNYA pada kita, masih kerap kita iri dengan nikmat yang diterima orang lain dan segera saja men-cap Allah tak adil!

Berapa banyak dari kita yang ketika menerima cobaan atau ditimpa musibah kemudian introspeksi dan bukannya malah mencari kesalahan pihak lain, termasuk menyalahkan Allah segala?! Banyak diantara kita yang menghitung-hitung ibadah kita kepadaNYA – yang belum tentu diterimaNYA karena mungkin bercampur riya’ dan ‘ujub – namun lupa menghitung-hitung nikmatNYA. Bagaimana kalo Allah kemudian benar-benar mengajak kita untuk hitung-hitungan, entah berapa puluh ribu tahun lagi kita harus membayar dengan ibadah kita yang tak seberapa ini?

Apalagi kalo kemudian meng-ultimatum Allah dengan akan meninggalkan sholat dan perintah-perintah Allah lainnya, karena Allah tak lagi sayang pada kita. Ibarat seorang Ibu yang mengancam tak akan memberikan uang jajan bila anaknya tak menuruti perintahnya. Seolah-olah kita jauh lebih berkuasa dibanding Allah! Ya, seolah kita mengancam Allah agar Allah selalu menuruti kehendak kita! Kalo Allah sesekali tak menuruti kehendak kita, maka itu artinya Allah tak lagi sayang pada kita; sementara kalo kita seringkali tak mematuhi perintah Allah, apakah Allah harus “maklum” dan tak boleh “menjewer” kita sebagai peringatan?!

Kalo ingin hitung-hitungan dengan Allah, sebaiknya kita hitung dulu berapa banyak nikmat Allah yang sudah kita reguk selama ini. Sudahkah kita mensyukuri dan memanfaatkannya dengan cara yang benar di mata Allah? Lalu, coba tengok diri sendiri dan coba hitung sudah seberapa banyak ketaatan yang kita lakukan, sudah berapa banyak ibadah yang kita persembahkan pada Allah? Apakah semua itu sudah seimbang untuk membayar nikmat yang kita terima dariNYA? Kalo jujur, niscaya kita akan dapati jawaban bahwa sebenarnya kita yang belum adil pada Allah. Karena itu, sebaiknya jangan pernah hitung-hitungan dengan Allah, supaya Allah juga tidak hitung-hitungan dengan kita.

Rasulullah SAW bersabda: ”Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum pernah melihatnya. Yakni, laki-laki yang tangan mereka menggenggam cambuk yang mirip ekor sapi untuk memukuli orang lain dan wanita-wanita yang berpakaian namun telanjang dan berlenggak lenggok. Kepalanya bergoyang-goyang bak punuk onta. Mereka itu tidak masuk surga dan tidak pula mencium baunya. Padahal, sesungguhnya bau surga itu bisa tercium dari jarak sekian dan sekian.” (HR Muslim)
Jelaslah bahwa ancaman bagi wanita-wanita yang membuka dan memamerkan auratnya. Yakni, siksaan api neraka. Hal tersebut menunjukkan bahwa pamer aurat dan ”buka-bukaan” adalah dosa besar. Sebab, perbuatan-perbuatan yang dilaknat oleh Allah atau Rasul-Nya dan yang diancam dengan hukuman duniawi atau azab neraka adalah dosa besar



Surabaya, 30 Juni 2008 – by Ira

Rabu, 23 Juli 2008

HARGA SEBUAH KEJUJURAN


KEJUJURAN, BARANG LANGKA DI NEGERI INI




Terminal Purabaya – atau di kalangan masyarakat Surabaya & Sidoarjo akrab dikenal dengan sebutan terminal Bungurasih, adalah tempat yang sangat tak asing lagi buatku dalam 15 tahun terakhir. Sejak diresmikan pada tahun 1991 – kalo gak salah inget sih! – tak terhitung sudah berapa ratus kali aku menyinggahinya. Soalnya sejak masih kuliah sampe sudah bekerja, aku terbiasa bolak-balik Surabaya – Bondowoso untuk menengok Ibuku yang tinggal di kota kecil bagian timur Jawa Timur itu.

Terminal Purabaya tak beda dengan ratusan terminal lainnya di negeri ini, tapi ada satu hal yang membuatku sebel dengan petugas terminal Purabaya. Mungkin bagi orang lain ini masalah sepele, “cuma” menyangkut duit receh Rp. 100,-! Tapi buatku inti persoalannya bukan itu, tapi kejujuran! Ya, “KEJUJURAN”.

Ceritanya begini : setiap calon penumpang yang hendak masuk ke peron terminal diharuskan membeli tiket retribusi terminal seharga Rp. 200,- per orang. Tentu saja di tiap loket penjualan tiket terkumpul duit receh pecahan 100 dan 200 rupiah. Tapi anehnya, tiap kali membayar dengan uang Rp. 500,- petugas penjual tiket hanya memberikan kembalian Rp. 200,-! Begitu juga kalo aku membayar dengan uang Rp. 1.000,-, kembaliannya pasti cuma Rp. 700,-! Aku sudah mencoba membeli tiket dari berbagai loket yang tersedia – baik loket permanen yang persis di depan peron, maupun loket tambahan yang dibuka saat peak season penumpang (misalnya musim liburan atau selama Ramadhan dan lebaran). Namun tampaknya upayaku ini tak membuahkan hasil. Perilaku petugas penjualan tiket itu seragam : mengutip 100 rupiah dari uang kembalian. Tak peduli apakah petugasnya pria atau wanita, sudah separuh baya dan hampir pensiun ataukah masih anak muda. Tampaknya “kutipan” 100 rupiah ini sudah jadi perjanjian tak tertulis.

Melihat fenomena seperti ini, aku justru sengaja membayar dengan uang 500-an atau seribuan. Aku mencoba menguji sejauh mana kejujuran petugas, siapa tahu suatu kali akau akan menemukan masih ada seorang petugas yang jujur. Setiap kali mendapat kembalian yang jumlahnya kurang, aku pasti tak akan beranjak dari loket – sehingga menghalangi calon pembeli tiket di belakangku – sampai petugas menanyakan : “sudah mbak, apa lagi?!” Dengan tegas aku akan menjawab : “Kembaliannya kurang Rp. 100,- pak!”. Dan selalu pula perlakuan yang kuterima sangat tidak menyenangkan. Umumnya petugas akan melempar/menyentil kepingan uang logam 100 perak dengan muka masam bahkan bersungut-sungut! Gila! Aku meminta apa yang menjadi hakku lho! Kok berani-beraninya mereka memperlakukan pelanggan seperti itu! Perlakuan seperti ini pun seragam! Artinya hampir semua petugas menunjukkan reaksi sama : marah, cemberut, melotot, ngedumel dan beragam ekspresi tak menyenangkan lainnya, saat diminta memberikan uang kembalian sesuai jumlah yang seharusnya. Kalo petugasnya cewek, wow… bisa lebih judes lagi reaksinya!

Satu kalimat yang paling kutunggu-tunggu keluar dari mulut para petugas itu, sebab aku pun sudah menyiapkan jawaban jitu. Kalimat itu adalah : “Duit 100 rupiah aja Mbak, kok dipersoalkan!”. Maka aku akan menjawab dengan tenang : “Duit 100 rupiah aja lho Pak, kok dibelain korupsi! Emangnya Bapak rela ntar dineraka dibakar cuma gara-gara duit 100 perak yang bukan hak Bapak?!”. Bahkan seandainya para petugas loket penjualan tiket kompak, aku siap ber-adu argumen dengan mereka!

Ya, persoalannya bukan cuma pada nilai 100 rupiah! Sebenarnya nilainya pun tak bisa dibilang Rp. 100,- sebab dalam sehari ada ribuan calon penumpang yang masuk peron terminal Purabaya, terminal paling gede di Jawa Timur, sekaligus sebagai pintu gerbang masuk ke Jawa Timur dari propinsi lain di Jawa. Belum lagi kalo musim liburan atau hari-hari padat arus mudik dan arus balik sekitar lebaran, bisa ratusan ribu penumpang per harinya. Kalikan saja Rp. 100,- dengan 10.000 penumpang, jumlahnya udah sejuta! Kalo 365 hari dalam setahun berapa duit “tak halal” tuh yang mereka kumpulkan dan masuk ke kantong pribadi?!

Perilaku ini sudah terjadi bertahun-tahun tanpa ada yang menghentikannya. Memang ini bukan kerugian negara sih, “cuma” kerugian para calon penumpang saja! Karena itu yang peduli untuk “ngotot” meminta hak-nya hanya segelintir calon penumpang yang kritis kayak aku ini. Bukankah kami berhak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya dan membayar sesuai jumlah yang ditetapkan dalam Perda, bukan “dipalak” secara semena-mena oleh petugas?! Bukankah para petugas itu sudah mendapat gaji dari Pemerintah mengingat statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Perhubungan?! Aku selalu liat mereka pakai seragam kok! Lengkap dengan badge dan simbol-simbol laon yang ditempel di lengan dan dada. So, kalo ini gak bisa dibilang korupsi – sebab tak ada unsur kerugian negara – lalu istilah apa yang paling tepat untuk perilaku para petugas itu?! PUNGLI?!

Sudah hampir dua tahun ini aku jarang menginjakkan kakiku di terminal Purabaya, sebab Ibuku kini pindah ke Bekasi sehingga aku tak perlu lagi bolak-balik ke Bondowoso. Namun, beberapa hari lalu, secara tak sengaja sepulang kantor lewat radio mobil aku mendengar keluhan seseorang yang dialamatkan ke sebuah radio FM swasta di Surabaya yang terkenal selalu menyuarakan keluhan masyarakat. Si penelpon mengeluhkan perilaku petugas loket penjualan tiket retribusi di terminal Purabaya, yang selalu mengutip kembalian 100 rupiah. Dan kalo ada pembeli yang kritis meminta kembalian dalam jumlah yang sesuai, petugas akan mengemblikan duit dengan cara tak sopan dan ekspresi wajah penuh kemarahan! Nah lho! Berarti “penyakit” itu gak kunjung sembuh juga sampai sekarang!

Aku sangat prihatin dengan fenomena ini, yang seolah dibiarkan bahkan dilegalkan, buktinya berlaku di semua loket penjulan tiket tanpa kecuali! Yang membuatku sedih, petugas itu melakukannya tanpa sedikitpun terbebani rasa bersalah. Mereka mengkorup kembalian 100 rupiah sambil tetap ber-haha-hihi dengan rekan kerja di sampingnya (yang tentu saja melakukan hal yang sama). Bahkan reaksi marah kalo ada calon penumpang yang ngotot meminta duit kembaliannya utuh, menunjukkan bahwa mereka justru memandang orang seperti ini “reseh”! Padahal mereka menuntut apa yang menjadi hak mereka! Sedangkan petugas itu mengutip uang yang bukan menjadi hak-nya!

Memang, hal yang keliru tapi dilakukan dalam kurun waktu yang lama dan dilakukan oleh banyak orang secara berjamaah, lama-lama akan menjadi “salah kaprah” – suatu tindakan salah yang dianggap sudah kaprah, sudah semestinya. So, kalo perilaku seperti itu sudah dianggap kaprah, jangan heran kalo lama-lama korupsi menjadi budaya yang mengakar di tengah masyarakat Indonesia! Pantesan fenomena korupsi berjamaah – dilakukan oleh oknum institusi secara beramai-ramai –makin marak di negeri ini! Orang jujur makin langka dan kejujuran jadi barang mewah yang tak terbeli lagi oleh hati nurani yang makin lama kian miskin tergerus mental materialistis. Budaya materialisme telah membuat orang jujur yang mencoba bertahan dengan prinsipnya, jadi tampak aneh di planet bumi yang makin tua bukannya makin dipenuhi manusia-manusia yang arif, namun dihuni sekelompok makhluk yang sudah jadi budak materi! Semoga kita termasuk kelompok yang “aneh” itu, namun tidak sesat di mata ALLAH! Amien.

Surabaya, 23 Juli 2008 (Ira)