Rabu, 23 Juli 2008

HARGA SEBUAH KEJUJURAN


KEJUJURAN, BARANG LANGKA DI NEGERI INI




Terminal Purabaya – atau di kalangan masyarakat Surabaya & Sidoarjo akrab dikenal dengan sebutan terminal Bungurasih, adalah tempat yang sangat tak asing lagi buatku dalam 15 tahun terakhir. Sejak diresmikan pada tahun 1991 – kalo gak salah inget sih! – tak terhitung sudah berapa ratus kali aku menyinggahinya. Soalnya sejak masih kuliah sampe sudah bekerja, aku terbiasa bolak-balik Surabaya – Bondowoso untuk menengok Ibuku yang tinggal di kota kecil bagian timur Jawa Timur itu.

Terminal Purabaya tak beda dengan ratusan terminal lainnya di negeri ini, tapi ada satu hal yang membuatku sebel dengan petugas terminal Purabaya. Mungkin bagi orang lain ini masalah sepele, “cuma” menyangkut duit receh Rp. 100,-! Tapi buatku inti persoalannya bukan itu, tapi kejujuran! Ya, “KEJUJURAN”.

Ceritanya begini : setiap calon penumpang yang hendak masuk ke peron terminal diharuskan membeli tiket retribusi terminal seharga Rp. 200,- per orang. Tentu saja di tiap loket penjualan tiket terkumpul duit receh pecahan 100 dan 200 rupiah. Tapi anehnya, tiap kali membayar dengan uang Rp. 500,- petugas penjual tiket hanya memberikan kembalian Rp. 200,-! Begitu juga kalo aku membayar dengan uang Rp. 1.000,-, kembaliannya pasti cuma Rp. 700,-! Aku sudah mencoba membeli tiket dari berbagai loket yang tersedia – baik loket permanen yang persis di depan peron, maupun loket tambahan yang dibuka saat peak season penumpang (misalnya musim liburan atau selama Ramadhan dan lebaran). Namun tampaknya upayaku ini tak membuahkan hasil. Perilaku petugas penjualan tiket itu seragam : mengutip 100 rupiah dari uang kembalian. Tak peduli apakah petugasnya pria atau wanita, sudah separuh baya dan hampir pensiun ataukah masih anak muda. Tampaknya “kutipan” 100 rupiah ini sudah jadi perjanjian tak tertulis.

Melihat fenomena seperti ini, aku justru sengaja membayar dengan uang 500-an atau seribuan. Aku mencoba menguji sejauh mana kejujuran petugas, siapa tahu suatu kali akau akan menemukan masih ada seorang petugas yang jujur. Setiap kali mendapat kembalian yang jumlahnya kurang, aku pasti tak akan beranjak dari loket – sehingga menghalangi calon pembeli tiket di belakangku – sampai petugas menanyakan : “sudah mbak, apa lagi?!” Dengan tegas aku akan menjawab : “Kembaliannya kurang Rp. 100,- pak!”. Dan selalu pula perlakuan yang kuterima sangat tidak menyenangkan. Umumnya petugas akan melempar/menyentil kepingan uang logam 100 perak dengan muka masam bahkan bersungut-sungut! Gila! Aku meminta apa yang menjadi hakku lho! Kok berani-beraninya mereka memperlakukan pelanggan seperti itu! Perlakuan seperti ini pun seragam! Artinya hampir semua petugas menunjukkan reaksi sama : marah, cemberut, melotot, ngedumel dan beragam ekspresi tak menyenangkan lainnya, saat diminta memberikan uang kembalian sesuai jumlah yang seharusnya. Kalo petugasnya cewek, wow… bisa lebih judes lagi reaksinya!

Satu kalimat yang paling kutunggu-tunggu keluar dari mulut para petugas itu, sebab aku pun sudah menyiapkan jawaban jitu. Kalimat itu adalah : “Duit 100 rupiah aja Mbak, kok dipersoalkan!”. Maka aku akan menjawab dengan tenang : “Duit 100 rupiah aja lho Pak, kok dibelain korupsi! Emangnya Bapak rela ntar dineraka dibakar cuma gara-gara duit 100 perak yang bukan hak Bapak?!”. Bahkan seandainya para petugas loket penjualan tiket kompak, aku siap ber-adu argumen dengan mereka!

Ya, persoalannya bukan cuma pada nilai 100 rupiah! Sebenarnya nilainya pun tak bisa dibilang Rp. 100,- sebab dalam sehari ada ribuan calon penumpang yang masuk peron terminal Purabaya, terminal paling gede di Jawa Timur, sekaligus sebagai pintu gerbang masuk ke Jawa Timur dari propinsi lain di Jawa. Belum lagi kalo musim liburan atau hari-hari padat arus mudik dan arus balik sekitar lebaran, bisa ratusan ribu penumpang per harinya. Kalikan saja Rp. 100,- dengan 10.000 penumpang, jumlahnya udah sejuta! Kalo 365 hari dalam setahun berapa duit “tak halal” tuh yang mereka kumpulkan dan masuk ke kantong pribadi?!

Perilaku ini sudah terjadi bertahun-tahun tanpa ada yang menghentikannya. Memang ini bukan kerugian negara sih, “cuma” kerugian para calon penumpang saja! Karena itu yang peduli untuk “ngotot” meminta hak-nya hanya segelintir calon penumpang yang kritis kayak aku ini. Bukankah kami berhak mendapat pelayanan sebagaimana mestinya dan membayar sesuai jumlah yang ditetapkan dalam Perda, bukan “dipalak” secara semena-mena oleh petugas?! Bukankah para petugas itu sudah mendapat gaji dari Pemerintah mengingat statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Departemen Perhubungan?! Aku selalu liat mereka pakai seragam kok! Lengkap dengan badge dan simbol-simbol laon yang ditempel di lengan dan dada. So, kalo ini gak bisa dibilang korupsi – sebab tak ada unsur kerugian negara – lalu istilah apa yang paling tepat untuk perilaku para petugas itu?! PUNGLI?!

Sudah hampir dua tahun ini aku jarang menginjakkan kakiku di terminal Purabaya, sebab Ibuku kini pindah ke Bekasi sehingga aku tak perlu lagi bolak-balik ke Bondowoso. Namun, beberapa hari lalu, secara tak sengaja sepulang kantor lewat radio mobil aku mendengar keluhan seseorang yang dialamatkan ke sebuah radio FM swasta di Surabaya yang terkenal selalu menyuarakan keluhan masyarakat. Si penelpon mengeluhkan perilaku petugas loket penjualan tiket retribusi di terminal Purabaya, yang selalu mengutip kembalian 100 rupiah. Dan kalo ada pembeli yang kritis meminta kembalian dalam jumlah yang sesuai, petugas akan mengemblikan duit dengan cara tak sopan dan ekspresi wajah penuh kemarahan! Nah lho! Berarti “penyakit” itu gak kunjung sembuh juga sampai sekarang!

Aku sangat prihatin dengan fenomena ini, yang seolah dibiarkan bahkan dilegalkan, buktinya berlaku di semua loket penjulan tiket tanpa kecuali! Yang membuatku sedih, petugas itu melakukannya tanpa sedikitpun terbebani rasa bersalah. Mereka mengkorup kembalian 100 rupiah sambil tetap ber-haha-hihi dengan rekan kerja di sampingnya (yang tentu saja melakukan hal yang sama). Bahkan reaksi marah kalo ada calon penumpang yang ngotot meminta duit kembaliannya utuh, menunjukkan bahwa mereka justru memandang orang seperti ini “reseh”! Padahal mereka menuntut apa yang menjadi hak mereka! Sedangkan petugas itu mengutip uang yang bukan menjadi hak-nya!

Memang, hal yang keliru tapi dilakukan dalam kurun waktu yang lama dan dilakukan oleh banyak orang secara berjamaah, lama-lama akan menjadi “salah kaprah” – suatu tindakan salah yang dianggap sudah kaprah, sudah semestinya. So, kalo perilaku seperti itu sudah dianggap kaprah, jangan heran kalo lama-lama korupsi menjadi budaya yang mengakar di tengah masyarakat Indonesia! Pantesan fenomena korupsi berjamaah – dilakukan oleh oknum institusi secara beramai-ramai –makin marak di negeri ini! Orang jujur makin langka dan kejujuran jadi barang mewah yang tak terbeli lagi oleh hati nurani yang makin lama kian miskin tergerus mental materialistis. Budaya materialisme telah membuat orang jujur yang mencoba bertahan dengan prinsipnya, jadi tampak aneh di planet bumi yang makin tua bukannya makin dipenuhi manusia-manusia yang arif, namun dihuni sekelompok makhluk yang sudah jadi budak materi! Semoga kita termasuk kelompok yang “aneh” itu, namun tidak sesat di mata ALLAH! Amien.

Surabaya, 23 Juli 2008 (Ira)




Tidak ada komentar: