Minggu, 01 Juni 2008

GANTILAH ROKOK ANDA DENGAN YANG LEBIH BERMANFAAT



Andi Irawan
Koran Tempo 8 September 2007

Mengkonversi konsumsi rokok menjadi barang lain yang bermanfaat jauh lebih penting dari melakukan konversi minyak ke gas, begitu kata teman saya yang seorang dokter dan anti rokok. Betapa tidak, untuk menghemat uang sebesar 30 triliun per tahun pemerintah siap menjadi sangat tidak populer di hadapan rakyatnya dengan memaksakan program konversi minyak tanah ke gas tanpa supporting system yang memadai, maka seharusnya pemerintah lebih berani mengimplementasikan kebijakan yang mengakselarasi terjadinya konversi konsumsi rokok mengingat manfaat berkali lipat yang akan didapat negara ini baik yang bersifat tangible (bisa dikuantifikasi) maupun yang intangible kalau program konversi rokok ini bisa kita wujudkan.


Mari kita gunakan sedikit hitung-hitungan; total biaya konsumsi tembakau adalah sebesarRp 127,4 triliun (angka tahun 2004) yang digunakan untuk belanja tembakau, biaya pengobatan sakit akibat mengonsumsi tembakau, kecacatan, dan kematian dini. Angka tersebut setara dengan 7,5 kali lipat penerimaan cukai tembakau tahun yang sama. Sementara itu, menurut analisis Soewarta Kosen (ahli ekonomi kesehatan Litbang Departemen Kesehatan), total tahun produktif yang hilang karena penyakit yang terkait dengan tembakau di Indonesia pada 2005 adalah 5.411.904 disability adjusted life year (DALYs). Jika dihitung dengan pendapatan per kapita per tahun pada tahun tersebut adalah sebesar US$ 900, total biaya yang hilang US$ 4.870.713.600


Terkait dengan masalah kemiskinan, jumlah orang miskin di Indonesia saat ini sekitar 60 juta jiwa (15 juta keluarga), ternyata 2 dari 3 laki-laki pada masyarakat miskin tersebut adalah perokok aktif. Jika harga rokok Rp 600 per batang, dan konsumsi rokok 2 dari 3 laki-laki pada masyarakat miskin tersebut minimal 10 batang per hari, hasilnya: 2/3 x 15 juta x 10 batang x Rp 600 = Rp 60.000.000.000 per hari (60 miliar per hari) atau per tahunnya resource rumahtangga miskin yang dibuang sia-sia adalah sebesar Rp 21,9 triliun. Bandingkan dengan subsidi pemerintah kepada rakyat miskin melalui Perum Bulog yang tahun dalam APBN 2007 sebesar 6,23 triliun.


Bagaimana dengan kerugian yang tidak bisa dikuantifikasi? rokok/tembakau secara klinis terbukti menimbulkan dampak eksternal bagi kesehatan manusia. Pada sebatang rokok, terdapat 4.000 jenis racun kimia, 10 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Sebagai ilustrasi angka kematian yang disebabkan atau yang berhubungan dengan tembakau ini mencapai 427.948 jiwa atau merupakan 22,5 persen dari total kematian di Indonesia di tahun 2001 (lihat Soewarta Kosen, 2004). Ekses negatif itu tidak hanya berdampak pada kesehatan, tapi juga ekses sosial, ekonomi, moral, dan budaya. Damayanti (2006) membuktikan perilaku merokok berkontribusi signifikan terhadap tumbuhnya berbagai penyakit sosial, seperti penggunaan narkotik, tindak kekerasan, bahkan HIV/AIDS.


Tetapi walaupun demikian, argumentasi bahwa rokok dan industri rokok lebih berkontribusi negatif secara makro kepada negara maupun secara mikro kepada konsumennya bukanlah pandangan mainstream kita secara kolektif. Dengan kata lain kita gagal mendefinisikan bahwa rokok dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya merugikan kita secara kolektif maupun indvidual.


Merubah deskripsi kolektif kita bahwa rokok itu sesuatu yang bermanfaat dan menguntungkan menjadi sesuatu sesuatu yang mubazir dan merugikan, indentik dengan merubah perilaku kita baik sebagai pendukung langsung maupun pendukung tidak langsung rokok. Yang saya maksud dengan pendukung langsung rokok adalah mereka yang hari-harinya menjadikan rokok sebagai makanannya. Merubah perilaku para ahli hisap itu memang tidak mudah. Tetapi walaupun demikian kita harus sadar bahwa mayoritas rakyat kita adalah bukan perokok, yang menjadi ahli hisap rokok itu sekitar 31,5%. Artinya perilaku mayoritas yang bukan perokok seharusnya menjadi perhatian atau pertimbangan dari minoritas yang ahli hisap dalam interaksi di ruang publik, contohnya di Singapura. Anda akan mendapatkan bagaimana warganegara kita yang sangat tidak patuh terhadap larangan merokok di ruang publik atau di ruang ber AC ketika berada di Indonesia menjadi orang yang mampu menghargai ruang publik dengan tidak merokok sembarangan ketika berada Singapura. Fenomena ini bisa terjadi karena deskripsi publik secara kolektif bahwa merokok tidak boleh kecuali pada tempatnya telah eksis di Singapura.


Mengapa kita gagal mewujudkan perilaku publik tentang merokok yang seperti itu dinegara kita? Menurut hemat saya bukan hanya sekedar karena tidak adanya law enforcement tetapi lebih dari itu ada fakta sosial yang harus kita akui bahwa mayoritas masyarakat kita belum bersepakat bahwa merokok yang tidak pada tempatnya itu salah. Kita secara kolektif membiarkan ada orang yang merokok di bis atau ruang ber AC tanpa memberi peringatan atau menegur yang bersangkutan, ini adalah contoh sederhana dari kegagalan kita secara kolektif mendeskripsikan bahwa merokok apalagi bukan pada tempatnya adalah sesuatu yang tertolak secara sosial. Hal ini selanjutnya berkontribusi besar dalam menyumbang kekalahan kita secara sosial melawan rokok.


Adapun pendukung tidak langsung rokok yang kita maksudkan di sini adalah orang atau entitas yang mendapatkan keuntungan secara ekonomi-politik-sosial atau budaya dari eksistensi rokok dan industrinya. Menghadapi pendukung jenis ini lebih berat dari para ahli hisap itu sendiri, karena di sini kita sudah masuk pada hitung-hitungan ekonomi dan politik yang rumit. Untuk menghadapi pendukung jenis ini yang diperlukan memang adalah power politik dalam wujud hukum dan perundang-undangan.


Mengkonversi konsumsi rokok menjadi konsumsi barang lain yang lebih bermanfaat dalam skala mikro, atau dalam skala makro menkonversi industri berbasis nikotin tersebut menjadi industri barang atau jasa dari tembakau atau cengkeh yang bermanfaat, adalah pekerjaan raksasa dan jangka panjang. Pekerjaan itu tentu saja harus dimulai secara bertahap, dan awal yang baik adalah ketika kita secara kolektif sepakat (yang diperkuat oleh negara dengan undang-undang atau perda atau apalah namanya tentu bersama law enforcementnya) bahwa merokok di ruang publik, menjadikan sponsor perusahaan rokok untuk even olahraga adalah tidak dibenarkan dan meninggikan cukai rokok pada level yang maksimum untuk menekan konsumsi rokok pada orang-orang miskin dan anak-anak adalah suatu keniscayaan.


Tidak ada komentar: