Kamis, 12 Juni 2008

SUDAHKAH KITA MEMPOSISIKAN TUHAN DENGAN BENAR?



DIMANA TUHAN BERADA?



Tayangan berita di sebuah stasiun televisi pada suatu akhir pekan di penghujung bulan Mei, mengagetkan saya dan membuat mulut saya ternganga sambil mengucap “astaghfirullah hal ‘adzhiim” dan “na’udzubillah” berkali-kali. Betapa tidak, tayangan itu memberitakan KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) yang menggerebek Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Tanjung Priok. Hasil : KPK berhasilmengumpulkan berpuluh-puluh amplop berisi uang suap yang besarnya bervariasi antara Rp. 7 juta sampai Rp. 35 juta. Ada pula yang dalam bentuk lembaran dollar Amerika dan dollar Singapura. Hampir di setiap laci meja karyawan bisa ditemukan amplop. Bukan itu saja, amplop juga tersebar di dalam lemari berkas, filing cabinet, karpet, musholla, bahkan disembunyikan di dalam kaos kaki!


Tampak jelas dalam tayangan tersebut para karyawan KPU Bea Cukai Tanjung Priok yang tak berdaya menghadapi kedatangan KPU yang mendadak. Sebagian diantara mereka hanya berdiri mematung membelakangi meja – wajah menghadap dinding, dan kedua tangan di belakang punggung. Mungkin memang mereka diperintahkan untuk bersikap demikian selama berlangsungnya penggeledahan, agar tak menghalangi kerja petugas KPK. Yang lebih menyedihkan, saya melihat 2 orang karyawati berjilbab yang juga berdiri mematung menghadap dinding, karena meja kerjanya sedang digeledah. Wajah keduanya tertunduk dalam. Dari raut wajah yang berusaha disembunyikan, saya rasa mereka menahan malu karena di laci meja kerja mereka juga ditemukan amplop-amplop uang suap. Na’udzubillah!


Apa yang terjadi di KPU Bea Cukai Tanjung Priok itu bukan dilakukan oleh oknum tertentu saja. Kebiasaan suap-menyuap sudah sedemikian membudaya di kalangan pegawainya, bahkan di-manage secara sistematis dan profesional. Terbukti di tiap lantai kantor tersebut ada petugas yang memang bertugas sebagai pengumpul amplop-amplop suap, untuk nantinya didistribusi. Saya yakin – meski belum pernah diberitakan – mekanisme pendistribusian serta proporsi yang akan didapat masing-masing pegawai, mungkin sudah ada aturan bakunya. Hebat! Benar-benar suap-menyuap berjamaah yang terkoordinir!


Yang lebih membuat hati saya miris, diberitakan pula bahwa malam itu selepas sholat Isya pun masih dilakukan transaksi penyuapan di musholla! Na’udzubillah tsumma na’udzubillah! Bukankah beberapa saat sebelumnya, ketika menghadap Sang Khalik, mereka telah bersumpah bahwa “sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH, Rabb (Tuhan) sekalian alam”?! Inna sholati wa nusuki wa mayahya wa mamati lillaahi robbil ‘aalamiin. Lalu kemana gema sumpah itu?! Kenapa hanya dalam hitungan menit setelah bersumpah kepada Penciptanya, mereka dengan mudah berpaling dan mengkhianati sumpahnya sendiri?! Dimana “Tuhan” mereka tempatkan?! Bisakah kita sembunyi dari “mata” Tuhan?!
Inilah fenomena yang terjadi diantara kita, produk budaya sekularisme yang memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan keseharian. Seolah kita hanya menjadi makhluk Tuhan disaat kita melakukan ibadah ritual saja, selepas itu kita pun bebas berlepas diri dari Allah! Bahkan mau melanggar larangan Allah pun sah-sah saja, toh sudah keluar dari “wilayah”nya Allah?! Astaghfirullah! Begitu hebatnya-kah kita sehingga bisa mengkotak-kan Allah hanya dalam batas-batas tertentu saja?!


Kita menjadi orang yang paling taat mengikuti semua tuntunan ibadah ketika sedang berada di tanah suci untuk melaksanakan ibadah umroh atau haji. Tapi sepulang kembali ke tanah air, kita kembali menjadi manusia teman dekat “iblis” yang mau melakukan apa saja untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Bahkan ironisnya, seolah-olah beribadah di tanah suci sebagai sarana pencuci dosa. Makanya tak jarang orang-orang kaya selalu meluangkan waktu setiap tahun sekali untuk umroh – tak peduli biaya perjalanan umroh itu didapat dari uang haram – seolah-olah dengan ber-umroh maka lebur-lah semua dosa-dosa kita.


Bahkan akhir-akhir ini kalimat tauhid dan seruan takbir seolah-olah jadi musik pengiring kegiatan kita, yang terdengar sumbang dan sangat tidak pas dengan lakon yang sedang dimainkan. Beberapa minggu yang lalu, hampir semua stasiun televisi swasta menayangkan berita sidang paripurna DPRD Jawa Timur yang diwarnai bentrok dan baku hantam anggota dewan yang terhormat, yang ironisnya diiringi seruan “Allahu Akbar” di sana-sini. Tapi kalimat takbir itu tak mampu meredakan emosi mereka yang sedang berkelahi berebut kedudukan dan jabatan. Petang ini, kembali saya menyaksikan salah satu pejabat Kejaksaan Agung – yang rekaman suaranya kemarin diperdengarkan dalam persidangan kasus suap perkara BLBI senilai 6 milyar rupiah – dengan senyum cerah mengelak bahwa dirinya terlibat dengan dalih karena ia sudah mengucapkan “Laa ilaaha illallah”. Padahal jelas-jelas rekaman suaranya itu membuat publik yang mendengar jadi geleng-geleng kepala sekaligus geram. Alasannya : dengan mengucap kalimat tauhid itu artinya dia bersih. Astaghfirullah! “Laa ilaaha illallah” rupanya sekarang sudah jadi password ampuh untuk melepaskan diri dari pertanggungjawaban, sudah jadi tip-ex yang bisa secara instant menghapus jejak keterlibatan seseorang dalam konspirasi melanggar hukum, tanpa ia perlu membuktikannya. Enak betul! Begitukah cara kita memposisikan Allah dalam kehidupan kita? Hanya dipakai sebagai “pintu keluar darurat”?!


Ketahuilah bahwa Allah begitu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri. IA memahami apa yang ada dalam hati kita dan tahu betul apa yang bahkan baru terbersit dalam pikiran kita. IA tahu apa yang kita lahirkan maupun yang kita simpan rapat dalam bathin. IA bukan hanya tahu apa yang kita tampakkan, ytapi juga mengerti benar apa yang kita sembunyikan. Tak ada tempat bagi kita untuk berkelit dan sembunyi dari pandanganNYA. Sebab dimanapun kita berada, jiwa kita dalam genggamannya.


Tapi apa yang kerapkali kita lakukan? Betapa seringnya kita mengabaikan keberadaan Allah. Kita terlalu yakin dengan apa yang kita lakukan. Kita begitu pe-de bahwa dengan akal dan kemampuan kita, kita mampu berbuat apa saja – termasuk melanggar larangannya – tanpa ada yang perlu dikhawatirkan. Betapa seringnya kita lupa “menyapa” Allah dalam setiap aktivitas keseharian kita. Sholat seolah-olah hanya jadi event check log mesin absensi pada Allah, sehingga tak perlu menghadirkan keseluruhan diri. Begitu selesai sholat, perbuatan munkar tetap dikerjakan. Na’udzubillah!


Allah pasti tak akan ridho dengan cara kita memperlakukanNYA seperti itu. IA akan murka dan menegur kita dengan keras. Cepat atau lambat, aib yang kita sembunyikan pasti akan dibukakanNYA. Karena IA Maha Tahu aib yang mana yang akan DIA bukakan dan kapan aib kita akan dibukaNYA, maka senyampang masih ada waktu, marilah kita merevisi kembali cara kita “menempatkan” Allah dalam hidup kita.

Surabaya, 12 Juni 2008
Wassalam – Ira

Tidak ada komentar: