Sabtu, 24 Mei 2008

BERSAHABAT DENGAN TAKDIR

BERSAHABAT DENGAN “TAKDIR”


Membicarakan masalah takdir seolah tak ada habisnya. Berbagai diskusi tentang takdir kerap tak menemui kata sepakat. Sebagian berpendapat bahwa apapun takdir manusia, semuanya ditentukan sepenuhnya oleh Sang Khalik sehingga manusia sama sekali tak berdaya menghadapinya dan tak bisa berbuat apa-apa kecuali berpasrah diri menerima takdirnya. Sebagian yang lain berkeyakinan bahwa manusia bukan makhluk tak berdaya, namun sebaliknya ia justru sepenuhnya diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya, yang dengan pilihannya itu ia akan menemui takdirnya. Adapula sebagian lainnya yang berpendapat ditengah-tengah, yaitu manusia sudah ditentukan takdirnya, tapi ada beberapa hal yang manusia diberi kesempatan untuk memilih. Pilihannya itulah yang akan menentukan hasil akhir dan membawanya menjalani takdir selanjutnya.

Sebagai orang awam, saya sih cenderung ikut pendapat yang terakhir. Sebab bukankah ada ayat di Al-Qur’an yang mengatakan hbahwa “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu tak mengubahnya”. Artinya, ada wilayah dimana kita – manusia – diberi kewenangan untuk berupaya mengubahnya. Hasilnya?! Serahkan pada Yang Maha Kuasa. Banyaknya ayat dan hadits yang menyuruh kita berusaha dengan maksimal seolah akan hidup selamanya, termasuk diantaranya menyuruh manusia bertebaran selepas sholat Jumat untuk mencari rizki, suatu bukti bahwa manusia diminta untuk senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidupnya.

Sebenarnya, sejak terlahir ke dunia, manusia sudah dibekali dengan sejumlah potensi dasar yang membuatnya “layak” disebut manusia. Setiap insan pasti dianugerahi dengan akal pikiran, hawa nafsu, kehendak/ kemauan dan hati nurani. Semua inilah yang menjadikan manusia “ahsani taqwim” (dalam bentuk yang sebaik-baiknya) dibanding makhluk Allah yang lainnya. Nah, untuk selanjutnya, terserah masing-masing orang akan dibawa kemana potensi dasar dirinya itu. Apakah potensi positifnya yang akan lebih unggul, ataukah potensi negatifnya yang akan mendominasi. Inilah kebebasan yang diberikan kepada manusia. Namun jangan dikira ini kebebasan tanpa tanggung jawab! Sebab semua yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Bukankah kita sudah dibekali dengan akal pikiran dan hati nurani?

Seperti yang ditulis Agus Mustofa dalam bukunya “Mengubah Takdir”, takdir manusia ini ibarat kalkulator. Setiap manusia dibekali dengan sejumlah program dasar yang membuatnya layak disebut kalkulator. Program dasar itu ialah : tambah, kurang, kali dan bagi. Namun setiap kalkulator juga dibuat berbeda-beda typenya, sehingga beda pula tingkat kecanggihannya dalam memproses penghitungan. Semakin canggih suatu kalkulator, semakin tinggi tingkat kemampuannya memproses hitungan yang rumit, semakin cepat waktu proses penghitungannya dan semakin akurat pula angka yang dihasilkan. Ada kalkulator yang cuma bisa dipakai untuk proses perhitungan sederhana (hanya bisa buat tambah, kurang, kali dan bagi), ada yang bisa dipakai menghitung akar kwadrat, ada yang dilengkapi fungsi eksponensial sehingga bisa dipakai memproses penghitungan pangkat berpuluh-puluh. Ada yang dilengkapi program logaritma, trigonometri (sin, cos, tg, cotg), sampai calculus (differensial dan integral) segala. Ada kalkulator yang tingkat akurasinya cuma sampai 2 decimal (2 digit di belakang koma), tapi ada pula yang sampai 10 decimal. Tentu saja kalkulator yang akurasinya sampai 10 digit layarnya pasti lebih lebar agar mampu menampilkan semua angkanya.

Tapi tak ada gunanya kita menggenggam kalkulator canggih kalau tak tahu cara mengoperasikannya. Atau lebih parah lagi kalau kita justru tidak tahu bahwa kalkulator yang kita miliki dilengkapi dengan fungsi-fungsi / feature tambahan. Untuk menghitung 54 (baca : 5 pangkat 4), kita terpaksa harus menekan tombol angka “5” sebanyak 4x, menekan tombol simbol “x” sebanyak 3x, diikuti menekan tombol simbol “=”. Totalnya 8 kali menekan tombol, kira-kira butuh waktu 8 detik. Sedangkan kalau kita tahu bahwa kalkulator kita dilengkapi dengan fungsi eksponensial dan tahu cara mengoperasikannya, maka tinggal “on”-kan mode “eksponensial”, lalu tekan tombol angka “5” disusul angka “4”. Hanya 2 langkah, berarti butuh waktu 2 detik, hasilnya sama : 625. Bayangkan kalau pangkatnya 10, berarti harus pencet tombol 20x, butuh waktu 20 detik. Sedangkan kalau tahu caranya, tetap cuma butuh waktu sekitar 2 detik.

Setiap manusia sudah dibekali dengan keunikan dan potensi masing-masing. Setiap orang punya kelebihannya sendiri dan prestasi yang berbeda. Untuk mengejar prestasi yang sama, setiap orang akan menempuh jalan yang berbeda dengan tingkat kesulitan yang berbeda pula. Ada yang cepat menggapai puncak prestasi, namun cepat pula tergelincir. Tapi ada pula yang harus merangkak untuk menaiki satu demi satu anak tangga kesuksesan dan tetap bisa mempertahankannya untuk jangka waktu yang cukup lama. Ada yang harus melalui jalan yang terjal dan berliku untuk sampai ke satu tujuan, namun ada pula yang lewat “jalan tol”. Ada yang jalannya lancar-lancar saja, tapi tak kurang pula yang terjebak “macet” sampai menguras habis cadangan energinya. Ada yang tingkat “akurasi”nya dalam berpikir rendah, namun adapula yang sebaliknya. Tentu saja orang yang tingkat “akurasi” berpikirnya tinggi, “layar”nya pasti lebih lebar, artinya ia punya wawasan dan sudut pandang dalam menghadapi masalah yang lebih luas.

Nah, sebagai pemilik “kalkulator”, tugas kita sebagai manusia adalah mencari tahu “fungsi” apa saja yang ada dalam diri kita. Fungsi disini meliputi : bakat dasar, potensi kemampuan, karakter. Setelah tahu fungsinya, langkah selanjutnya adalah belajar cara mengoperasikannya. Yaitu bagaimana mengembangkan bakat bawaan yang sudah ada sejak lahir, bagaimana mengembangkan minat / ketertarikan kita pada suatu bidang agar bisa lebih bermanfaat dan menghasilkan, bagaimana mengasah kemampuan kita agar potensi bisa menjadi realisasi, serta bagaimana menyesuaikan karakter yang kita miliki dengan jenis/ lingkungan kerja yang akan kita tekuni, agar bisa “pas” sehingga memberikan hasil yang maksimal.

Agar kalkulator dapat berfungsi optimal, Allah sudah menyediakan “manual book” (buku petunjuk) untuk semua fungsi kalkulator secanggih apapun! Buku petunjuk itu berupa sunnatullah, hukum-hukum alam yang sudah menjadi keniscayaan. Jangan coba-coba menyalahi buku petunjuk, karena kalkulator tidak akan berfungsi dengan baik atau bahkan bisa jadi akan rusak. Gak percaya?! Coba aja buktikan!

Kalau anda membawa obor yang menyala masuk ke pompa bensin, lalu terjadi kebakaran hebat, maka apakah kita memang sudah ditakdirkan kebakaran? Tentu saja tidak! Kebakaran terjadi karena kesalahan kita sendiri yang melanggar sunnatullah : membawa obor ke pompa bensin. Kalau besok anda dijadwalkan ikut ujian, tapi sejak sebulan terakhir anda sengaja gak belajar sama sekali, maka jangan heran kalo saat pengumuman nanti nama anda tak tercantum sebagai peserta yang lulus. Apa itu artinya anda sudah ditakdirkan untuk tidak lulus? Ofcourse not! Kalau di kemasan dan iklan rokok sudah tercantum tulisan “merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, gangguan kehamilan & janin” tapi anda tetap mengkonsumsinya selama bertahun-tahun dalam “dosis” tinggi, tak usah ngomel kalau tubuh anda digerogoti berbagai macam penyakit. Kalau Allah sudah mengharamkan “khamr” dan anda masih saja doyan nenggak minuman keras, juga tak perlu mengeluh kalau organ-organ tubuh anda akan mengalami disfungsi sistem. Kalau di “manual book” sudah jelas-jelas tertulis : “jangan dekati zina” tapi masih banyak yang hobby berganti-ganti pasangan seenaknya, jangan heran kalau AIDS makin merajalela. Semua itu bukan takdir! Tapi akibat ulah manusia yang lalai mematuhi “buku petunjuk” yang sudah diberikan oleh Sang Maha Pencipta. Jadi kalau ada ketidak-seimbangan dalam tubuh kita, dalam hidup kita, bahkan disharmoni dijagad raya ini yang mendatangkan bencana alam (banjir, tanah longsor dsb.), pastilah ada sunnatullah yang dilanggar! Sebab pada dasarnya Allah menciptakan seisi alam raya ini dalam komposisi yang seimbang, serasi dan selaras. So, be careful with your calculator!

Seorang teman mengirim email tentang kisah 3 kaleng Coca Cola. Ketiga kaleng ini diproduksi di pabrik yang sama, isinya pun sama. Tiba saatnya kaleng-kaleng Coca Cola itu didistribusikan dengan truk pengangkut. Kaleng pertama diturunkan di sebuah mini market, dipajang di rak, diberi label harga “Rp. 4.000,-”. Kaleng kedua diturunkan di sebuah rumah makan, dimasukkan ke dalam lemari pendingin ukuran besar, dijual dalam keadaan dingin, setiap pembeli harus merogoh kocek Rp. 8.000,-. Dua kali lipat dari harga kaleng Coca Cola yang pertama. Kaleng terakhir diturunkan di sebuah hotel berbintang lima, tidak dipajang, hanya dikeluarkan bila ada tamu yang memesan. Saat disajikan, seorang pelayan memakai rompi dan berdasi kupu-kupu akan membawanya di atas nampan. Kaleng itu dikeluarkan bersama dengan gelas kristal dan butiran es batu. Sang pelayan dengan sopan akan membuka kaleng dan menuangkannya ke dalam gelas kristal, meletakkan sedotan, kemudian menyodorkan bill bertuliskan angka yang cukup fantastis : Rp. 30.000,-!

3 kaleng Coca Cola yang diproduksi oleh pabrik yang sama, diangkut dengan truk yang sama, diletakkan di tempat yang berbeda, harganya bisa berbeda jauh! Apa yang membuat ketiga kaleng Coca Cola itu berbeda harganya? Lingkungannya dan cara penyajiannya! Lingkungan anda mencerminkan HARGA anda. Lingkungan berbicara tentang RELATIONSHIP.

Kaleng Coca Cola tak bisa memilih kemana ia akan diantarkan, dimana ia akan diletakkan dan bagaimana ia akan disajikan. Sebab kaleng Coca Cola hanyalah sebuah benda mati yang tak memiliki daya upaya untuk menolak tadirnya, tak punya kuasa untuk memperjuangkan nasibnya. Bagaimana dengan manusia?!

Tentu saja manusia berhak memilih kemana ia akan melangkah dan dimana ia akan memposisikan dirinya. Apabila anda berada dilingkungan yang bisa mengeluarkan potensi terbaik dari diri anda, maka anda akan menjadi cemerlang. Tapi bila anda berada dilingkungan yang meng-kerdil- kan diri anda, maka anda akan menjadi kerdil. Itu sebabnya Rasulullah Muhammad SAW menyuruh kita berhati-hati dalam memilih teman. Siapa yang berteman dengan penjual minyak wangi akan terpercik harum aromanya, sedangkan siapa yang berteman dengan pandai besi (bukan bermaksud merendahkan profesi pandai besi lho), akan terkena panasnya. Jadi, dua orang yang memiliki bakat dan kemampuan yang sama, tapi berada di lingkungan yang berbeda, maka akan memiliki “nilai” yang berbeda pula.

Jadi, kalau anda ingin penghasilan anda gede, ya jangan bekerja di perusahaan kecil yang kemampuannya menggaji karyawan memang tak seberapa. Kalau ingin “air” yang mengalir deras dan lancar, carilah “mata air” yang debitnya besar. Nah, kalau anda sudah memilih untuk bekerja di perusahaan kecil – entah memilih dengan rela ataupun terpaksa – maka ya harus diterima konsekwensinya bahwa gaji yang anda terima tentu tak sebesar rekan anda yang bekerja di perusahaan besar. Kalau sumber mata air yang bisa anda temukan hanyalah mata air kecil, tak perlu mengeluh kalau aliran airnya kecil saja. Semua itu adalah konsekwensi dari sebuah pilihan. Bukan takdir, tapi nasib. Nasib masih bisa diperbaiki dan diperjuangkan. Tingkat keberhasilannya biasanya sebanding dengan upaya yang dilakukan. Dan tentu saja diiringi doa!

Bukan cuma lingkungan yang membuat kaleng Coca Cola berbeda harganya. Cara penyajiannya turut mendongkrak harganya. Begitu pula manusia, bagaimana ia mampu “mengemas” penampilan dirinya, akan menentukan seberapa ia akan dihargai oleh lingkungannya. Bagaimana ia membawakan dirinya di tengah masyarakat, akan menentukan apakah ia akan dihargai atau dipandang murahan. Kalau kita tak bisa menghargai diri sendiri, jangan salahkan kalau orang lain tak menghargai kita. Kalau kita tak lagi punya harga diri, itu bukanlah takdir! Salah kita sendiri telah lalai menjaga harkat dan martabat kita.

Dengan segenap kelebihannya, manusia diberi kebebasan kemana kakinya hendak dibawa melangkah. Setiap saat kita akan menjumpai persimpangan, entah itu pertigaan, perempatan atau bahkan simpang lima. Di tiap titik persimpangan kita harus memilih ke arah mana kita akan melanjutkan perjalanan : belok kanan, belok kiri, atau jalan terus. Setiap jalan yang kita pilih tentu akan berbeda tantangan yang dihadapi, berbeda pula tingkat kesulitan untuk melaluinya. Allah sudah memberikan rambu-rambu agar kita selamat melalui jalan itu. Ada rambu batas kecepatan maksimum, ada rambu larangan mendahului dari sebelah kiri, ada rambu peringatan agar hati-hati karena jalanan licin, berkelok-kelok, tikungan tajam atau jalan mendaki dan menurun. Selama kita mematuhi rambu-rambu yang telah ditetapkan Allah, Insya Allah kita akan selamat sampai tujuan. Sebaliknya kalau melanggar, selamat tidak ditanggung!

Kita harus sabar melalui jalan yang sudah kita pilih, agar tak celaka. Jangan sekali-kali melanggar “batas kecepatan maksimum” dalam mencari rejeki. Sebab setiap orang telah ditentukan “qadar” atau batas takaran rizkinya. Tak ada rizki yang salah alamat. Allah Maha Tahu seberapa banyak yang kita butuhkan dan kapan kita membutuhkannya. Jangan karena keburu kaya, lantas kita memilih ambil jalan pintas, memotong jalur, mendahului dari sebelah kiri atau bahkan keluar dari jalur yang semestinya. Apa saja disikat habis, semua diembat, tak peduli apakah itu “jatah” kita atau bukan, mengabaikan hak orang lain, tak lagi menghiraukan halal, syubhat bahkan haram! Na’udzubillah! Dalam hal ini motto “biar lambat asal selamat” benar-benar berlaku. Sebab, bukankah kita ingin selamat di dunia dan akhirat?! Jadi, dalam menjemput rizki tak perlu ngebut dan melanggar rambu-rambu yang ada.

Satu-satunya yang tidak bisa dihindari dan memang manusia tidak diberi kebebasan untuk memilih adalah maut! Ya, manusia tak bisa memajukan maupun memundurkan kematiannya sedetik pun! Tapi bukan berarti mentang-mentang kematian sudah ditentukan takdirnya sejak kita masih dalam kandungan, lalu kita tak perlu menjaga keselamatan hidup kita. Toh kalo belum waktunya mati gak bakalan mati! Saya pernah punya seorang teman yang percaya banget dengan garis tangan. Saking percayanya, dia sampai belajar cara membaca garis tangan (saya sih gak percaya pada keakuratannya membaca garis tangan). Masalahnya, teman saya ini hobby banget minum alkohol. Tiada hari tanpa bir dan berbagai jenis minuman keras lainnya. Maklum, ayahnya seorang “raja bir” di Thailand. Ambang batas kekuatannya menenggak miras juga sudah sangat tinggi. Kalau orang lain cukup dengan sebotol bir sudah bisa membuat mabok, dia sampai habis 3 botol juga belum apa-apa. Jangan salah, teman saya ini 100% cewek, bukan cowok! Kalau belum mabok, dia gak akan berhenti menenggak miras. Dalam keadaan mabok berat, dia nekad mengemudikan mobilnya pulang ke rumah. Pakai ngebut pula! Alhasil, tak perlu heran kalau ia sering nyaris celaka. Tapi ia tak pernah kapok. “Garis tanganku mengatakan umurku masih panjang, aku belum akan mati muda” itu kilahnya. Saya pernah mengingatkan : mungkin benar umurmu masih panjang, tapi bagaimana kalau kamu celaka dan harus kehilangan anggota tubuhmu? Apa kamu akan menghabiskan sisa umurmu dalam keadaan cacat? Dia cuma ketawa kala itu. Setahun kemudian, saya sempat membaca emailnya yang dikirim ke milis kami, dia cerita bahwa terpaksa kehilangan 3 ruas jari tangan kirinya, akibat kecelakaan gara-gara nyetir dalam keadaan mabok! Nah lho!

Allah telah menganugerahkan pada kita tubuh yang sempurna. Tugas kita lah untuk selalu menjaganya dan memanfaatkannya untuk kebaikan. Kalau kita mencekoki tubuh kita dengan racun (nikotin, alkoholic drink, narkotika, dll.), berarti kita sudah mendzholimi diri sendiri. Itu suatu bentuk kufur nikmat. Sebab bukankah mensyukuri nikmat berarti menjaga dan merawat nikmat yang sudah Allah berikan? Nah, kalau yang kita lakukan bukannya merawat tapi malah merusak, berarti kita tak pandai bersyukur alias kufur. Inilah yang bisa mengundang murka Allah, sehingga DIA mencabut nikmat sehat yang sudah diberikan pada kita.

Jadi, kesimpulannya : meskipun takdir sudah ditentukan, tapi kita tetap dibebaskan untuk memilih jalan yang akan kita lalui. Pilihan kita menentukan nasib kita. Pilihan yang tepat dipadukan dengan ketaatan pada “rambu-rambu” dan aturan Ilahi, akan membawa kita pada keselamatan. Sebaliknya, menentang sunnatullah, tak patuh pada aturan yang telah digariskan, akan membawa petaka. Apalagi kalau sejak awal kita telah salah memilih jalan yang akan dilalui dan salah memilih lingkungan tempat kita bertumbuh kembang. So, karena Allah tak pernah mendzholimi umatnya, maka kita pun harus berupaya untuk tak mendzholimi diri kita, agar selamat dunia – akhirat. Amin!


Surabaya, 23 Mei 2008
by : Ira

Tidak ada komentar: