Minggu, 18 Mei 2008

KONSEP BERSYUKUR


MENSYUKURI NIKMAT, PINTU MERAIH KESUKSESAN


Apa itu “NIKMAT” ?
Nikmat adalah “kullu ladziidin” atau semua yang membuat hidup kita enak. Secara garis besar, nikmat itu bisa dikelompokkan menjadi 2 :
Nikmat yang berupa hasil, nikmat yang tinggal pakai, nikmat yang tinggal dinikmati. Misalnya : anggota tubuh, sumber daya alam, seisi langit dan bumi yang mendukung kehidupan kita.
Nikmat yang berupa alat untuk mendapatkan hasil. Misalnya bakat, kelebihan, kecerdasan yang kita miliki, teman-teman & orang-orang yang kita kenal dan berbagai sumber kapital lainnya.
Jadi nikmat ada yang bawaan dari lahir dan ada yang berupa pemberdayaan (hasil usaha). Nikmat bawaan artinya nikmat yang membuat kita bisa hidup. Nikmat ini diberikan kepada seluruh makhluk secara “taken for granted”. Sedangkan nikmat pemberdayaan adalah prestasi yang didapat dari hasil usaha kita masing-masing. Nikmat ini adalah nikmat yang “membuat hidup jadi lebih hidup” dan hanya diberikan kepada semua orang yang berusaha. Derajat hasilnya berdasarkan kualitas usaha.

Konsep “SYUKUR” dan “KUFUR”
Ada satu logika hidup yang kerap kita gunakan secara terbalik. Logika itu adalah pemikiran bahwa untuk bisa jadi orang yang bersyukur kita harus mendapat nikmat dulu. Setelah dapat nikmat, baru bersyukur. Kalau nikmat yang saya terima banyak, maka rasa syukur saya juga akan bertambah.
Padahal Al-Qur’an menggariskan bahwa kalau seseorang bersyukur, maka nikmat hidupnya akan ditambah. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat-KU) kepadamu dan jika kamu mengingkarinya, maka sesungguhnya azab-KU sangat pedih (QS. Ibrahim : 7)”.
Al-Qur’an mendahulukan syukur sebagai syarat untuk mendatangkan nikmat. Ada ungkapan bijak yang perlu kita renungkan :
“Bukan karena masalah yang membuat hidupmu tidak bahagia. Karena kamu tidak bahagia, maka hidupmu bermasalah. Bukan karena keterbatasan yang membuat hidupmu terbatas. Karena kamu membatasi diri, maka hidupmu terbatas. Bukan karena krisis nikmat yang membuat kamu kufur. Karena kamu kufur, maka terjadilah krisis nikmat”.

Jadi yang perlu kita tegaskan adalah “kualitas kesyukuran” kita. Kita perlu belajar meningkatkan kualitas kesyukuran ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih baik lagi, agar nikmat yang kita dapatkan semakin banyak dan semakin banyak lagi!
“Syukur” adalah kemampuan seseorang dalam menggunakan potensi atau sumberdaya (resources) untuk meraih tujuan-tujuan positif (kesuksesan atau prestasi) berdasarkan keadaannya dengan cara-cara yang tidak melanggar.
Lawannya syukur adalah “kufur”. Menurut Imam Al-Ghazali, orang disebut kufur apabila ia membiarkan atau mengingkari nikmat yang ada. Juga termasuk kufur apabila seseorang menggunakan nikmat yang ada dengan cara-cara yang melanggar. Misalnya seseorang yang mendapat jabatan sebagai buah dari hasil usahanya (nikmat hasil pemberdayaan) kemudian menyalahgunakan jabatan itu untuk kepentingannya sendiri dan merugikan orang banyak, maka yang dilakukannya adalah “kufur nikmat”.
Seseorang yang dikaruniai bakat dan potensi namun ia menolak mengembangkan bakat, potensi dan kecerdasan yang dimilikinya, maka ini pun termasuk dalam pengertian kufur nikmat, karena menolak menggunakan resources yang telah diberikan.
Kesimpulannya : syukur dan kufur adalah doktrin pemikiran, doktrin mental atau doktrin konsep hidup. Syukur dan kufur pada dasarnya adalah jalan hidup. Ibarat mengendarai kendaraan, jika kita memilih jalan yang rusak, maka kendaraan kita juga akan cepat rusak, fisik kita akan capek mengemudi di jalan yang rusak, mental kita juga lelah dan perjalanan jadi lebih lama.
“Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan adapula yang kafir. …(QS. Al-Insan : 4)”.

Aktualisasi Nikmat Potensi
“Potensi” adalah nikmat. Dengan potensi yang kita miliki, kita diberi “alat” untuk meraih “prestasi” yang kita inginkan. Potensi tidak langsung berubah menjadi nikmat (hasil) dengan sendirinya, tapi diperlukan “aktualisasi”. Aktualisasi itulah yang disebut syukur. Syukur termasuk tanda-tanda kecerdasan. Kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk memproduksi solusi yang tidak melanggar nilai-nilai kebenaran.
Ada sejumlah hal yang perlu kita perhatikan dan dapat kita jadikan alat untuk meraih puncak kesuksesan / prestasi.
Pertama : mengeksplorasi bakat. Bakat adalah kelebihan alamiah yang dimiliki sejak lahir. Semua orang diberi kelebihan tertentu oleh Allah. Apakah bakat itu menjadi kelebihan atau tidak, disinilah peranan aktualisasi atau syukur.
Kedua : menemukan kecerdasan dominan yang kita miliki. Kecerdasan yang kita miliki tidak otomatis membuat kita menjadi orang cerdas. Cerdas tidaknya kita bukan tergantung kecerdasan yang kita miliki, namun tergantung pada tingkat kesyukuran atau kekufuran kita.
Ketiga : meningkatkan keahlian. Keahlian adalah kemampuan kita menangani suatu urusan. Tingkatan keahlian yang kita miliki menentukan hasil yang akan kita dapatkan. Keahlian hanya bisa didapatkan dengan pengasahan. Disinilah syukur dan kufur memegang peranan penentu.
Keempat : melatih kemampuan dalam mengubah tekanan menjadi tantangan. Langkah kita akan lancar apabila kita selalu melatih kemampuan dalam melihat tekanan itu sebagai tantangan. Untuk bisa melatih kemampuan, dibutuhkan jiwa-jiwa yang syukur.
Kelima : mendinamiskan batin. Batin yang statis mirip seperti air yang tidak mengalir Air yang tidak mengalir lama kelamaan akan menimbulkan bau tak sedap. Batin yang tidak dinamis akan mudah terjangkiti virus kufur. Jika ini dibiarkan , maka nikmat Allah yang banyak tak akan sanggup membuat kita bersyukur. Hati akan tetap bergejolak atau malah mati (dead heart).

(disadur bebas dari buku “Gemilang di Usia Empat Puluh” karya Dr. Muhammad Musa Syarif by Ira)

Tidak ada komentar: